Selasa, 16 Juni 2009

Strategi Rapino di Kegalauan Bisnis Musik





Di tengah kegalauan industri musik dunia, dia membawa Live Nation menjadi perusahaan musik terpadu. Strategi apa saja yang digelar?

Perubahan memang satu hal yang pasti di jagat bisnis, tak terkecuali di bisnis musik. Para eksekutif perusahaan rekaman besar (major label) kini tengah berpikir keras mengangkat kembali bisnisnya yang terus melempem dihajar aktivitas pengunduhan (download) musik via Internet. Akhir 2007, dalam diskusi di salah satu raksasa rekaman, EMI, terungkap bahwa produk utama industri musik yakni compact disk (CD), penjualannya terus menurun di sejumlah negara maju. Mengacu data Nielsen SoundScan, dalam diskusi itu dipaparkan penjualan CD di Amerika Serikat turun 19% dibanding tahun 2006. Sementara di Inggris, pada semester pertama 2007, turun 6%, lalu Jepang, Prancis dan Spanyol turun 9%, Italia 12%, Australia 14%, dan di Kanada 21%.

Tak heran, Mark Mulligan, analis JupiterResearch, meyakini sekarang tengah terjadi pergeseran besar di industri musik. ”Pada 2007 menjadi semakin jelas bahwa industri rekaman tengah berkontraksi, dan tampaknya menjadi sesuatu yang berbeda ketimbang abad ke-20,” katanya seperti dikutip The Economist dalam artikel bertajuk From Major to Minor (10 Januari 2008). Seperti apakah sesuatu yang berbeda itu? Lantas, akan ke mana para artis dan musisi itu berlabuh?

Mulligan benar bila menyatakan tengah terjadi pergeseran. Dan salah satu aktor penting yang berselancar di tengah gejolak ini adalah Michael Rapino. Lewat bendera Live Nation, Rapino adalah penunggang perubahan yang cukup cerdik. Bahkan, di industrinya, dia mungkin tergolong orang yang terlihai meniti dinamika yang ada, mengubah pergeseran yang menciutkan para eksekutif perusahaan rekaman, menjadi keuntungan yang menggiurkan. Bukan cuma untuk sekarang, tapi juga masa mendatang.

Live Nation sejatinya adalah perusahaan yang tergolong bau kencur. Berbasis di Beverly Hills, Kalifornia, AS, perusahaan ini terbentuk pada 2005 hasil pemisahan diri (spin-off) dari Clear Channel Communications. Namun, dalam waktu yang cepat, Live Nation telah menjadi perusahaan yang disegani di industri musik. Ini tak lain karena pilihan jalur bisnisnya yang terbilang berada di saat yang tepat.

Selepas era Napster dan lahirnya situs-situs file sharing yang memungkinkan pengguna Internet saling berbagi file musik, industri musik sungguh mengalami guncangan hebat. Terlebih setelah iPod dan produk pemutar musik digital merajalela. Bisnis musik, terutama industri rekaman, mengalami masa ancaman yang serius. Sebab, masyarakat lebih senang bertukar musik setelah mengonversi versi CD ke dalam file digital, terutama dalam format MP3. Apalagi di negara-negara yang masyarakatnya rajin membajak, termasuk Indonesia. Di tempat-tempat itulah, CD lagu bajakan terjual lebih laris ketimbang versi aslinya.

Di tengah kegaduhan yang melanda industri rekaman, Rapino bermain cantik. Sejak dipisahkan dari Clear Channel pada 2005, dia melihat sebuah peluang, yakni promotor akan menjadi lebih perkasa bila bermitra dengan musisi. Tak heran, dia pun langsung menggeber bisnis ini. Tahun 2005 saja, dia sukses mempromotori sekitar 28.500 acara di pelbagai negara, terutama konser musik grup top macam Cold Play, dengan total penonton mencapai lebih dari 61 juta orang.

Melihat kesuksesan itu, dan melihat industri musik yang kian gamang menghadapi era pengunduhan musik, Rapino melangkah lebih jauh. Dia berupaya mentransformasi Live Nation dari perusahaan yang sekadar menggelar konser musik, menjadi perusahaan yang disebutnya the future of the music business. Visi ini didefinisikannya sebagai: Sebuah tempat di mana penggemar (fans), konten Internet, kontrak rekaman, penerbitan, tur, promosi, pensponsoran, dan manajemen artis, duduk bersama di bawah satu atap. Pendeknya, menjadi one stop musical company yang mengelola setiap kebutuhan musikal artis dan penggemarnya.

“Live Nation akan menggunakan seluruh asetnya yang terpenting: tiket konser, membangun karier artis, hubungan dengan pelanggan, membuat deal dengan sponsor, serta membuat hubungan artis dan penggemarnya jadi akrab,” tuturnya. Karena itu, tawarannya pada sang artis adalah: Kami sudah menggelar tur Anda. Mengapa tidak sekalian memercayakan album, merchandise, situs, dan produksi video pada kami?

Gebrakan Rapino yang paling mengguncang perusahaan rekaman adalah ketika dia mengontrak Madonna senilai US$ 120 juta untuk aktivitas konser selama 10 tahun. Live Nation punya hak mengelola seluruh aspek karier diva musik pop ini, mulai dari promosi konser sampai lisensi citranya. Kemudian, dia membekukan kontrak dengan Ticketmaster pada Agustus 2007. Terhitung sejak 1 Januari 2009, Live Nation hendak meluncurkan layanan penjualan tiket yang selama ini dikelola Ticketmaster. Untuk pelayanan tiket ini, Rapino meminta lisensi dari CTS Eventim, agen tiket nomor dua terbesar di dunia yang berbasis di Bremen, Jerman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Design By:
SkinCorner